RSS Feed

Ayo Belanja Pernak-pernik Yogyakarta..

Posted by: Ary Kurnia / Category:

MALIOBORO - Bernostalgia di Surga Cinderamata



Menyusuri jalanan sepanjang satu kilometer tentunya akan sangat melelahkan, tapi cerita kenangan dari bangunan tua dan taburan cinderamata akan mengobatinya.

Membentang di atas sumbu imajiner yang menghubungkan Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi, jalan ini terbentuk menjadi suatu lokalitas perdagangan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengembangkan sarana perdagangan melalui sebuah pasar tradisional semenjak tahun 1758. Setelah berlalu 248 tahun, tempat itu masih bertahan sebagai suatu kawasan perdagangan bahkan menjadi salah satu ikon Yogyakarta yang dikenal dengan Malioboro.

Terletak sekitar 800 meter dari Kraton Yogyakarta, tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti "karangan bunga" menjadi dasar penamaan jalan tersebut.

Diapit pertokoan, perkantoran, rumah makan, hotel berbintang dan bangunan bersejarah, jalan yang dulunya sempat menjadi basis perjuangan saat agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1948 juga pernah menjadi lahan pengembaraan para seniman yang tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) pimpinan seniman Umbul Landu Paranggi semenjak tahun 1970-an hingga sekitar tahun 1990.

Surga Cinderamata

Menikmati pengalaman berbelanja, berburu cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade). Di sini akan ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separohnya.



Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga. Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang-barang sejenis yang dijual di sepanjang arcade, pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik Pekalongan atau batik Solo. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga yang lebih murah.

Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.

Lesehan Malioboro

Saat matahari mulai terbenam, ketika lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan yang menambah indahnya suasana Malioboro, satu persatu lapak lesehan mulai digelar. Makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel lele bisa dinikmati disini selain masakan oriental ataupun sea food serta masakan Padang. Serta hiburan lagu-lagu hits atau tembang kenangan oleh para pengamen jalanan ketika bersantap.



Bagi para wisatawan yang ingin mencicipi masakan di sepanjang jalan Malioboro, mintalah daftar harga dan pastikan pada penjual, untuk menghindari naiknya harga secara tidak wajar.

Mengunjungi Yogyakarta yang dikenal dengan "Museum Hidup Kebudayaan Jawa", terasa kurang lengkap tanpa mampir ke jalan yang telah banyak menyimpan berbagai cerita sejarah perjuangan Bangsa Indonesia serta dipenuhi dengan beraneka cinderamata. Surga bagi penikmat sejarah dan pemburu cinderamata.


PASAR BERINGHARJO - Pasar Tradisional Terlengkap di Yogyakarta



Pasar Beringharjo telah digunakan sebagai tempat jual beli sejak tahun 1758. Tawarannya kini kian lengkap; mulai dari batik, jajanan pasar, jejamuan, hingga patung Budha seharga ratusan ribu.

Pasar Beringharjo menjadi sebuah bagian dari Malioboro yang sayang untuk dilewatkan. Bagaimana tidak, pasar ini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna filosofis. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Selain itu, Beringharjo juga merupakan salah satu pilar 'Catur Tunggal' (terdiri dari Kraton, Alun-Alun Utara, Kraton, dan Pasar Beringharjo) yang melambangkan fungsi ekonomi.

Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925, barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. Nama 'Beringharjo' sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo). Kini, para wisatawan memaknai pasar ini sebagai tempat belanja yang menyenangkan.



Bagian depan dan belakang bangunan pasar sebelah barat merupakan tempat yang tepat untuk memanjakan lidah dengan jajanan pasar. Di sebelah utara bagian depan, dapat dijumpai brem bulat dengan tekstur lebih lembut dari brem Madiun dan krasikan (semacam dodol dari tepung beras, gula jawa, dan hancuran wijen). Di sebelah selatan, dapat ditemui bakpia isi kacang hijau yang biasa dijual masih hangat dan kue basah seperti hung kwe dan nagasari. Sementara bagian belakang umumnya menjual panganan yang tahan lama seperti ting-ting yang terbuat dari karamel yang dicampur kacang.

Bila hendak membeli batik, Beringharjo adalah tempat terbaik karena koleksi batiknya lengkap. Mulai batik kain maupun sudah jadi pakaian, bahan katun hingga sutra, dan harga puluhan ribu sampai hampir sejuta tersedia di pasar ini. Koleksi batik kain dijumpai di los pasar bagian barat sebelah utara. Sementara koleksi pakaian batik dijumpai hampir di seluruh pasar bagian barat. Selain pakaian batik, los pasar bagian barat juga menawarkan baju surjan, blangkon, dan sarung tenun maupun batik. Sandal dan tas yang dijual dengan harga miring dapat dijumpai di sekitar eskalator pasar bagian barat.



Berjalan ke lantai dua pasar bagian timur, jangan heran bila mencium aroma jejamuan. Tempat itu merupakan pusat penjualan bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah. Bahan jamu yang dijual misalnya kunyit yang biasa dipakai untuk membuat kunyit asam dan temulawak yang dipakai untuk membuat jamu terkenal sangat pahit. Rempah-rempah yang ditawarkan adalah jahe (biasa diolah menjadi minuman ronde ataupun hanya dibakar, direbus dan dicampur gula batu) dan kayu (dipakai untuk memperkaya citarasa minuman seperti wedang jahe, kopi, teh dan kadang digunakan sebagai pengganti bubuk coklat pada cappucino).

Pasar ini juga tempat yang tepat untuk berburu barang antik. Sentra penjualan barang antik terdapat di lantai 3 pasar bagian timur. Di tempat itu, anda bisa mendapati mesin ketik tua, helm buatan tahun 60-an yang bagian depannya memiliki mika sebatas hidung dan sebagainya. Di lantai itu pula, anda dapat memburu barang bekas berkualitas bila mau. Berbagai macam barang bekas impor seperti sepatu, tas, bahkan pakaian dijual dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga aslinya dengan kualitas yang masih baik. Tentu butuh kejelian dalam memilih.

Puas berkeliling di bagian dalam pasar, tiba saatnya untuk menjelajahi daerah sekitar pasar dengan tawarannya yang tak kalah menarik. Kawasan Lor Pasar yang dahulu dikenal dengan Kampung Pecinan adalah wilayah yang paling terkenal. Anda bisa mencari kaset-kaset oldies dari musisi tahun 50-an yang jarang ditemui di tempat lain dengan harga paling mahal Rp 50.000,00. Selain itu, terdapat juga kerajinan logam berupa patung Budha dalam berbagai posisi seharga Rp 250.000,00. Bagi pengoleksi uang lama, tempat ini juga menjual uang lama dari berbagai negara, bahkan yang digunakan tahun 30-an.

Jika haus, meminum es cendol khas Yogyakarta adalah adalah pilihan jitu. Es cendol Yogyakarta memiliki citarasa yang lebih kaya dari es cendol Banjarnegara dan Bandung. Isinya tidak hanya cendol, tetapi juga cam cau (semacam agar-agar yang terbuat dari daun cam cau) dan cendol putih yang terbuat dari tepung beras. Minuman lain yang tersedia adalah es kelapa muda dengan sirup gula jawa dan jamu seperti kunyit asam dan beras kencur. Harga minuman pun tak mahal, hanya sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000.

Meski pasar resmi tutup pukul 17.00 WIB, tetapi dinamika pedagang tidak berhenti pada jam itu. Bagian depan pasar masih menawarkan berbagai macam panganan khas. Martabak dengan berbagai isinya, terang bulan yang legit bercampur coklat dan kacang, serta klepon isi gula jawa yang lezat bisa dibeli setiap sorenya. Sekitar pukul 18.00 WIB hingga lewat tengah malam, biasanya terdapat penjual gudeg di depan pasar yang juga menawarkan kikil dan varian oseng-oseng. Sambil makan, anda bisa mendengarkan musik tradisional Jawa yang diputar atau bercakap dengan penjual yang biasanya menyapa dengan akrab.


KASONGAN - Memburu Keramik di Pemukiman Kundi



Melihat lebih dekat pembuatan kerajinan keramik yang telah diwariskan turun-temurun sambil memburu koleksi-koleksi indah hasil keahlian tangan.

Pada masa penjajahan Belanda, di salah satu daerah selatan Yogyakarta pernah terjadi peristiwa yang mengejutkan bahkan menakutkan warga setempat dengan ditemukannya seekor kuda milik Reserse Belanda yang mati di atas tanah sawah milik seorang warga. Karena takut akan hukuman, warga tersebut melepaskan hak tanahnya dan tidak mengakui tanahnya lagi. Hal ini diikuti oleh warga lainnya. Tanah yang telah dilepas inipun akhirnya diakui oleh penduduk desa lain. Akibat dari tidak memiliki tanah persawahan lagi, warga setempat akhirnya memilih menjadi pengrajin keramik untuk mainan dan perabot dapur hingga kini. Hal ini terungkap dalam hasil wawancara Prof. Gustami dkk dengan sesepuh setempat pada tahun 1980-an.

Daerah itulah yang kita kenal dengan nama Kasongan hingga hari ini. Sebuah desa di Padukuhan Kajen yang terletak di pegunungan rendah bertanah gamping. Berjarak 15-20 menit berkendara dari pusat kota.

Desa Kasongan merupakan wilayah pemukiman para kundi, yang berarti buyung atau gundi (orang yang membuat sejenis buyung, gendi, kuali dan lainnya yang tergolong barang dapur juga barang hias).



"Berawal dari keseharian nenek moyang yang mengempal-ngempal tanah yang ternyata tidak pecah bila disatukan, lalu mulai membentuk-bentuknya menjadi berbagai fungsi yang cenderung untuk jadi mainan anak-anak atau barang keperluan dapur. Akhirnya kebiasaan itu mulai diturunkan hingga generasi sekarang" tutur Pak Giman, salah satu pekerja di sanggar Loro Blonyo.

Berkunjung ke desa Kasongan, wisatawan akan disambut dengan hangat oleh penduduk setempat. Sekedar melihat-lihat ruang pajang atau ruang pamer yang dipenuhi berbagai hasil kerajinan keramik. Dan jika tertarik melihat pembuatan keramik, wisatawan dapat mengunjungi beberapa galeri keramik yang memproduksi langsung kerajinan khas itu di tempat. Mulai dari penggilingan, pembentukan bahan menggunakan perbot, penjemuran produk yang biasanya memakan waktu 2-4 hari. Produk yang telah dijemur itu kemudian dibakar, sebelum akhirnya di-finishing menggunakan cat tembok atau cat genteng.

Bekerja secara kolektif, biasanya sebuah galeri adalah usaha keluarga secara turun temurun. Meski sekarang pembuatan keramik melibatkan tetangga sekitar tempat tinggal pemilik galeri, namun pihak keluarga tetap bertanggung jawab untuk pemilihan bahan dan pengawasan produksi.

Sentuhan Desain Modern

Pada awalnya keramik ini tidak memiliki corak sama sekali. Namun legenda matinya seekor kuda telah menginspirasi para pengrajin untuk memunculkan motif kuda pada banyak produk, terutama kuda-kuda pengangkut gerabah atau gendeng lengkap dengan keranjang yang diletakkan di atas kuda, selain dari motif katak, jago dan gajah.



Seiring perkembangan, dengan masuknya pengaruh modern dan budaya luar melalui berbagai media, setelah pertama kali diperkenalkan tentang Kasongan oleh Sapto Hudoyo sekitar 1971-1972 dengan sentuhan seni dan komersil serta dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980-an, kini wisatawan dapat menjumpai berbagai aneka motif pada keramik. Bahkan wisatawan dapat memesan jenis motif menurut keinginan seperti burung merak, naga, bunga mawar dan banyak lainnya. Jenis produksi sendiri sudah mencakup banyak jenis. Tidak lagi berkutat pada mainan anak-anak (alat bunyi-bunyian, katak, celengan) serta keperluan dapur saja (kuali, pengaron, kendil, dandang, kekep dan lainnya). Memasuki gapura Kasongan, akan tersusun galeri-galeri keramik sepanjang bahu jalan yang menjual berbagai barang hias. Bentuk dan fungsinya pun sudah beraneka ragam, mulai dari asbak rokok kecil atau pot bunga yang tingginya mencapai bahu orang dewasa. Barang hias pun tidak hanya yang memiliki fungsi, tetapi juga barang-barang yang hanya sekedar menjadi pajangan.

Patung Keramik Loro Blonyo

Salah satu keramik pajangan yang cukup terkenal adalah sepasang patung pengantin yang sedang duduk sopan. Sepasang patung ini dikenal dengan sebutan Loro Blonyo yang pertama kali dibuat oleh sanggar Loro Blonyo milik pak Walujo. Patung ini diadopsi dari sepasang patung pengantin milik Kraton Yogyakarta. Secara pengartian Jawa, Loro berarti dua atau sepasang, sementara Blonyo bermakna dirias melalui prosesi pemandian dan didandani. "Akan tetapi makna sebenarnya akan Loro Blonyo masih menjadi pertanyaan para pekerja di Kasongan" ungkap Pak Giman.

Adanya kepercayaan patung Loro Blonyo akan membawa hoki dan membuat kehidupan rumah tangga langgeng bila diletakkan di dalam rumah, menurut penuturan Pak Giman pada YogYES, justru membawa pengaruh positif terhadap penjualan sepasang patung keramik ini. Sementara beberapa wisatawan manca negara yang menyukai bentuknya, memesan khusus dengan berbagai bentuk seperti penari, pemain gitar, pragawati dan lain sebagainya. Pakaiannya pun tidak lagi memakai pakem Jawa, selain mengadopsi pakaian khas beberapa negara, yang paling banyak memakai motif Bali dan Thailand. Beberapa galeri keramik sekarang telah menjual sepasang patung unik ini yang masih terus diproduksi dengan beberapa bentuk yang berbeda-beda.
Desa Wisata

Semenjak akhir abad ke 20, setelah Indonesia mengalami krisis, kini di Kasongan wisatawan dapat menjumpai berbagai produk selain gerabah. Masuknya pendatang yang membuka galeri di Kasongan adalah salah satu pengaruhnya. Produk yang dijual juga masih termasuk kerajinan lokal seperti kerajinan kayu kelapa, kerajinan tumbuhan yang dikeringkan atau kerajinan kerang. "Yang namanya usaha itukan mengikuti arus dan perkembangan, melihat peluang yang ada" kata Pak Giman. Akan tetapi kerajinan gerabah tetaplah menjadi tonggak utama mata pencaharian warga setempat. "Udah bakatnya, lagian tidak punya kemampuan lain. Lha wong paling tinggi pendidikan kita SLTA, itupun beberapa" tambahnya.

Kerajinan keramik dengan berbagai bentuk dan motif yang modern bahkan artistik, dan berbagai kerajinan lainnya sebagai tambahan adalah daya tarik Kasongan saat ini. Sebuah tempat wisata penuh cerita serta barang indah hasil keahlian tangan penduduk setempat mengaduk tanah liat.

Dua bulan pasca gempa, kini di Kasongan telah banyak galeri yang aktif kembali, meski beberapa masih dalam tahap pembangunan ulang. Sejauh ini tidak terlihat lagi tanda-tanda kekhawatiran dari pemilik maupun pekerja. Penduduk setempat berharap wisatawan akan kembali mengunjungi Kasongan seperti saat sebelum gempa.


1 komentar:

  1. Unknown Says:

    i like it
    because, I can take the artificial appearance of here and a lot of which I took from your blogspot

    thank you for giving me the ease in finding a task that already I am looking for a long time:)

Posting Komentar